Cerita miris semua veteran RI di Indonesia, seakan menjadi sebuah cerita pilu yang sering terjadi. Hanya segelintir dari mereka yang di masa tuanya, menemukan pengakuan, penghargaan dan bahkan pertolongan dari pemerintah. Tak laksana sosok Djuwari inilah ini. Hidup terkungkung kemiskinan, siapa sangka andai Djuwari dulu ialah seorang pejuang yang ikut menggotong tandu Panglima Besar, Jenderal Sudirman.
Ia terjun langsung di medan yang berat bareng dengan sejumlah rekannya, yang bertugas menopang tandu untuk membawa sang Jenderal bergerilya. Sudirman kala tersebut sedang menderita penyakit TBC yang bersarang di paru-parunya. Djuwari yang bertugas sebagai pemapah tandu, tetap setia mendampingi dirinya terbit masuk hutan guna melancarkan perang gerilya.
Ikut berusaha bersama Jenderal Soedirman
Pagi hari pada tanggal 6 Januari 1949, Djuwari bareng tiga orang temannya, Karso, Warto, dan Joyodari, tengah mengarah ke Dusun Magersari, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk guna menghadapi semua penjajah. Dengan semangat, keempatnya memanggul tandu dan berlangsung kaki selama 30 kilometer dari Dusun Goliman mengarah ke Dusun Magersari dengan melintasi area perbukitan Gunung Wilis.
Tidak laksana prajurit lainnya. Meski Djuwari ikut sebagai pasukan gerilya di bawah pimpinan Jenderal Sudirman, tugasnya hanyalah membawa tandu. Tanpa memanggul senjata seperti banyak sekali gerilyawan lainnya. Di antara keempat orang pemikul tersebut, sekarang hanyalah menyisakan diri Djuwari seorang.
Hidup simpel sebagai petani
“Saat tersebut kami menikmati ikut berjuang, meskipun tidak dengan teknik memanggul senjata laksana tentara lainnya,” ujarnya yang dikutip dari nasional.kompas.com.
Selama berada di kampung tersebut, Jenderal Soedirman menduduki kamar berukuran 7×3,5 meter di dalam lokasi tinggal Badal, salah seorang anggota gerilyawan. Di sanalah sang panglima besar merangkai strategi perang yang besok mengganti sejarah Indonesia di masa depan. Djuwari sendiri lumayan beruntung. Karena kesetiannya sekitar memanggul tandu, iap un dihadiahi suatu kain panjang dari Jenderal Sudirman. Saking senangnya, ia keseringan menggunakan sampai rusak. Praktis, hanya kisah dirinya ketika mengikuit gerilya yang dapat diwariskan guna generasi muda.
“Teko Bajulan (Nganjuk), aku karo sing podho mikul terus mbalik nang Goliman. Wektu iku diparingi sewek (jarit) karo sarung,” imbuhnya yang dilansi dari voa-islam.com.
Waktu yang terus bergulir, menciptakan Djuwari menghela napas sesaat. Ia sekarang harus menerima fakta hidup sebagai petani yang mengubah sawah. Bisa dibilang, kondisinya paling mepet dan pas-pasan. Tak terdapat yang mengira, bahwa sosok renta tersebut telah berlangsung dan bergerilya bareng dengan Jenderal Sudirman. Meski demikian, ia tak patah arang guna menularkan motivasi hidupnya pada generasi muda Indonesia.
“Kami hanya bercita-cita generasi muda ketika ini dapat menerusan cita-cita pahlawan untuk dapat bebas dari segala format penjajahan,” ujarnya yang dikutip dari nasional.kompas.com.
Ia terjun langsung di medan yang berat bareng dengan sejumlah rekannya, yang bertugas menopang tandu untuk membawa sang Jenderal bergerilya. Sudirman kala tersebut sedang menderita penyakit TBC yang bersarang di paru-parunya. Djuwari yang bertugas sebagai pemapah tandu, tetap setia mendampingi dirinya terbit masuk hutan guna melancarkan perang gerilya.
Ikut berusaha bersama Jenderal Soedirman
Pagi hari pada tanggal 6 Januari 1949, Djuwari bareng tiga orang temannya, Karso, Warto, dan Joyodari, tengah mengarah ke Dusun Magersari, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk guna menghadapi semua penjajah. Dengan semangat, keempatnya memanggul tandu dan berlangsung kaki selama 30 kilometer dari Dusun Goliman mengarah ke Dusun Magersari dengan melintasi area perbukitan Gunung Wilis.
Tidak laksana prajurit lainnya. Meski Djuwari ikut sebagai pasukan gerilya di bawah pimpinan Jenderal Sudirman, tugasnya hanyalah membawa tandu. Tanpa memanggul senjata seperti banyak sekali gerilyawan lainnya. Di antara keempat orang pemikul tersebut, sekarang hanyalah menyisakan diri Djuwari seorang.
Hidup simpel sebagai petani
“Saat tersebut kami menikmati ikut berjuang, meskipun tidak dengan teknik memanggul senjata laksana tentara lainnya,” ujarnya yang dikutip dari nasional.kompas.com.
Selama berada di kampung tersebut, Jenderal Soedirman menduduki kamar berukuran 7×3,5 meter di dalam lokasi tinggal Badal, salah seorang anggota gerilyawan. Di sanalah sang panglima besar merangkai strategi perang yang besok mengganti sejarah Indonesia di masa depan. Djuwari sendiri lumayan beruntung. Karena kesetiannya sekitar memanggul tandu, iap un dihadiahi suatu kain panjang dari Jenderal Sudirman. Saking senangnya, ia keseringan menggunakan sampai rusak. Praktis, hanya kisah dirinya ketika mengikuit gerilya yang dapat diwariskan guna generasi muda.
“Teko Bajulan (Nganjuk), aku karo sing podho mikul terus mbalik nang Goliman. Wektu iku diparingi sewek (jarit) karo sarung,” imbuhnya yang dilansi dari voa-islam.com.
Waktu yang terus bergulir, menciptakan Djuwari menghela napas sesaat. Ia sekarang harus menerima fakta hidup sebagai petani yang mengubah sawah. Bisa dibilang, kondisinya paling mepet dan pas-pasan. Tak terdapat yang mengira, bahwa sosok renta tersebut telah berlangsung dan bergerilya bareng dengan Jenderal Sudirman. Meski demikian, ia tak patah arang guna menularkan motivasi hidupnya pada generasi muda Indonesia.
“Kami hanya bercita-cita generasi muda ketika ini dapat menerusan cita-cita pahlawan untuk dapat bebas dari segala format penjajahan,” ujarnya yang dikutip dari nasional.kompas.com.
Komentar
Posting Komentar