Penjelajah asing menulis kerajaan-kerajaan misterius di Pulau Sumatra sesudah Sriwijaya tak lagi perkasa.
Kerajaan Misterius di Pulau Sumatra
Arca Bhairawa, diduga sebagai arca perwujudan Adityawarman (Koleksi Museum Nasional/Wikipedia).
SRIWIJAYA tak lagi dinamakan dalam sumber luar negeri maupun prasasti lokal pada abad ke-14. Kerajaan tersebut telah bergeser ke terpencil di hulu Sungai Batang Hari di mana raja Adityawarman meninggalkan arca dan prasasti dari tahun 1347.
Setidaknya terdapat tiga kerajaan sejak nama San-fo-tsi tersebut tak lagi kondang, yakni Kerajaan Dharmaçraya, Palembang, dan Minangkabau.
Berdasarkan keterangan dari sejarawan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Kerajaan Minangkabau didirikan oleh Adityawarman sesudah berangkat ke Sumatra pada 1339. Sebelumnya, sebagaimana dinamakan Prasasti Manjusri (1341 M) di Candi Jago, dia menaklukkan Bali bareng Gajah Mada.
Sebenarnya, Adityawarman ialah putra Majapahit, keturunan Melayu. Dia keturunan Mahamantri Adwayawarman. Darah Melayu dari Dara Jingga, putri Kerajaan Dharmaçraya. Namun, Adityawarman tidak sukses menjadi raja di Dharmaçraya, lokasi kakeknya memerintah. Di sana telah ada raja keturunan Tribuwanaraja Mauliwarmadewa.
“Adityawarman lalu menegakkan kerajaan baru di Pagaruyung,” tulis Slamet.
Dari prasasti yang tidak sedikit ditemukan di wilayah Minangkabau, bisa diketahui pada pertengahan abad ke-14 terdapat raja yang memerintah di Kanakamedinindra (raja pulau emas). Namanya Adityawarman.
Pada 1347, sesudah meluaskan kekuasaannya hingga Pagaruyung, Minangkabau, Adityawarman mengusung dirinya menjadi maharajadhiraja bergelar Udayadityawarman atau Adityawarmodaya Pratapaparakramarajendra Maulimaliwarmadewa.
Sebelum Adityawarman datang, sudah ada dua kerajaan yakni Dharmaçraya dan Palembang sebagai pelanjut kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Keberadaan kerajaan tersebut diperkuat daftar dari Dinasti Ming. Kronik ini memisahkan kerajaan Melayu dan San-fo-tsi.
“Yang dimaksud dengan Kerajaan Melayu ialah kerajaan di wilayah Jambi. Pusatnya di Dharmaçraya. San-fo-tsi terdapat di Palembang bekas Sriwijaya,” jelas Slamet.
Sejarawan Anthony Reid dalam Sumatra Tempo Doeloe berpendapat, bisa jadi kerajaan Budha Raja Adityawarman memberi jalan untuk munculnya tradisi dominasi raja di Sumatra Barat unsur tengah. “Tradisi tersebut hidup bersebelahan tetapi tidak cukup harmonis dengan masyarakat Minangkabau yang matrilineal dan pluralistik,” tulis Reid.
Sekira tiga abad sesudah masa Adityawarman, raja-raja Minangkabau di Pagaruyung dikenal punya kharisma kuat untuk masyarakat pesisir, nyaris di semua Pulau Sumatra. Sejak tahun 1660-an perwakilan Belanda di pantai barat Sumatra mulai berurusan dengan raja-raja itu, di suatu tempat yang dinamakan “Negeri”.
“Sementara Belanda yang menguasai Melaka guna VOC sesudah 1641 mengetahui, walau samar mengenai penguasa Minangkabau di lokasi yang mereka sebut Pagaruyung,” kata Reid.
Thomas Diaz, salah satunya. Dia yang bekerja pada VOC, diutus Gubernur Belanda guna Melaka, Cornelis van Quelbergh, pada 1683 pergi ke hulu Sungai Siak guna menjalin hubungan dengan Raja Minangkabau.
Peneliti masa kini, kata Reid, mengaku kalau pemaparan Diaz mengenai Pagaruyung tak cocok dengan tempat Pagaruyung canggih di Sungai Selo, Tanah Datar. Sementara Pagaruyung yang dideskripsikan Diaz terletak jauh ke unsur timur di Sungai Sinaman, antara Buo dan Kumanis.
“Kemungkinan nama Pagaruyung dialihkan ke tempat sekarang, sekira akhir abad ke-17, sebagai persaingan dominasi yang dulu terjadi antara sejumlah cabang kerajaan,” jelas Reid.
Dalam perjalanannya itu, Diaz menempuh tidak sedikit bahaya. Berdasarkan keterangan dari catatannya, dia mesti melalui hutan belantara, gunung terjal, rawa-rawa, dan tanaman berduri guna sampai di istana raja.
Catatan Marco Polo
Pada masa yang lebih tua, eksistensi kerajaan-kerajaan di samping Sriwijaya disalin pula oleh Marco Polo. Catatannya dia bikin menurut perjalanannya bareng ayah dan pamannya yang adalahpedagang Venesia.
Kata Reid, sebetulnya Marco Polo memberikan pemaparan yang relatif akurat untuk Eropa mengenai pesisir unsur utara Sumatra, meski tidak sedikit yang tak percaya pada kisahnya.
Pulau Sumatra atau yang dinamakan Marco Polo dengan “Jawa Kecil” ialah daerah di Asia Tenggara yang dia tinggali lumayan lama pada 1290-an. Kunjungan family Marco Polo kala tersebut bertepatan dengan pembentukan negara pelabuhan Islam kesatu di sepanjang pantai unsur utara Pulau Sumatra.
Di mula catatannya, dia menyinggung ada delapan kerajaan di Pulau Sumatra yang mempunyai bahasa masing-masing. Namun, dia melulu menjelaskan empat kerajaan.
Pertama, Kerajaan Ferlec atau Perlak. Penduduknya menyembah berhala. Karena sering bersangkutan dengan saudagar Saracen yang berlabuh di sana, semua penduduk kota menganut doktrin Muhammad. Sementara warga desa masih hidup laksana binatang.
Kedua, Kerajaan Basman atau Peusangan. Warga Peusangan menyatakan setia pada Kubilai Khan. Namun, mereka tak mengirim upeti untuk kaisar Mongol itu. Lokasi mereka yang terpencil susah terjangkau oleh duta Mongol. Mereka hidup tanpa hukum dan menganut hukum hewan buas dan kejam.
“Tak terdapat satu pun lokasi di semua Hindia atau juga di distrik lain yang lebih binal pernah ditemukan insan yang begitu kecil sebagaimana yang terdapat di sini,” catat Marco Polo.
Ketiga, Kerajaan Sumatra atau Samudera, yang lantas dikenal sebagai Pasai. Marco Polo dan keluarganya lima bulan di sana, menantikan cuaca yang menyokong untuk melanjutkan perjalanan. Penduduk di sana memuja berhala dan orang-orangnya liar. Mereka punya raja yang kaya dan paling berkuasa. Sang raja juga menyatakan sokongan pada Khan Yang Agung.
Keempat, Kerajaan Dragoian atau Pidie. Kerajaan ini punya raja dan bahasa sendiri. Masyarakatnya pun menyatakan sokongan pada Khan Yang Agung. Mereka menyembah berhala.
Keadaan Pulau Sumatra telah berubah saat Ibn Batuta hingga ke Kerajaan Samudera Pasai pada 1345. Kota yang dia catat dengan nama Sumutra itu, telah diperintah seorang sultan. Mereka punya kadi dan berpengalaman hukum. Sang sultan pun rajin sembahyang Jumat.
“Sebuah kota yang besar dan indah, yang dikelilingi dinding dan menara-menara kayu,” ujar Batuta dalam catatannya yang dibentuk sepuluh tahun lantas dalam perjalanan pulang ke Maroko.
Kerajaan Misterius di Pulau Sumatra
Arca Bhairawa, diduga sebagai arca perwujudan Adityawarman (Koleksi Museum Nasional/Wikipedia).
SRIWIJAYA tak lagi dinamakan dalam sumber luar negeri maupun prasasti lokal pada abad ke-14. Kerajaan tersebut telah bergeser ke terpencil di hulu Sungai Batang Hari di mana raja Adityawarman meninggalkan arca dan prasasti dari tahun 1347.
Setidaknya terdapat tiga kerajaan sejak nama San-fo-tsi tersebut tak lagi kondang, yakni Kerajaan Dharmaçraya, Palembang, dan Minangkabau.
Berdasarkan keterangan dari sejarawan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Kerajaan Minangkabau didirikan oleh Adityawarman sesudah berangkat ke Sumatra pada 1339. Sebelumnya, sebagaimana dinamakan Prasasti Manjusri (1341 M) di Candi Jago, dia menaklukkan Bali bareng Gajah Mada.
Sebenarnya, Adityawarman ialah putra Majapahit, keturunan Melayu. Dia keturunan Mahamantri Adwayawarman. Darah Melayu dari Dara Jingga, putri Kerajaan Dharmaçraya. Namun, Adityawarman tidak sukses menjadi raja di Dharmaçraya, lokasi kakeknya memerintah. Di sana telah ada raja keturunan Tribuwanaraja Mauliwarmadewa.
“Adityawarman lalu menegakkan kerajaan baru di Pagaruyung,” tulis Slamet.
Dari prasasti yang tidak sedikit ditemukan di wilayah Minangkabau, bisa diketahui pada pertengahan abad ke-14 terdapat raja yang memerintah di Kanakamedinindra (raja pulau emas). Namanya Adityawarman.
Pada 1347, sesudah meluaskan kekuasaannya hingga Pagaruyung, Minangkabau, Adityawarman mengusung dirinya menjadi maharajadhiraja bergelar Udayadityawarman atau Adityawarmodaya Pratapaparakramarajendra Maulimaliwarmadewa.
Sebelum Adityawarman datang, sudah ada dua kerajaan yakni Dharmaçraya dan Palembang sebagai pelanjut kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Keberadaan kerajaan tersebut diperkuat daftar dari Dinasti Ming. Kronik ini memisahkan kerajaan Melayu dan San-fo-tsi.
“Yang dimaksud dengan Kerajaan Melayu ialah kerajaan di wilayah Jambi. Pusatnya di Dharmaçraya. San-fo-tsi terdapat di Palembang bekas Sriwijaya,” jelas Slamet.
Sejarawan Anthony Reid dalam Sumatra Tempo Doeloe berpendapat, bisa jadi kerajaan Budha Raja Adityawarman memberi jalan untuk munculnya tradisi dominasi raja di Sumatra Barat unsur tengah. “Tradisi tersebut hidup bersebelahan tetapi tidak cukup harmonis dengan masyarakat Minangkabau yang matrilineal dan pluralistik,” tulis Reid.
Sekira tiga abad sesudah masa Adityawarman, raja-raja Minangkabau di Pagaruyung dikenal punya kharisma kuat untuk masyarakat pesisir, nyaris di semua Pulau Sumatra. Sejak tahun 1660-an perwakilan Belanda di pantai barat Sumatra mulai berurusan dengan raja-raja itu, di suatu tempat yang dinamakan “Negeri”.
“Sementara Belanda yang menguasai Melaka guna VOC sesudah 1641 mengetahui, walau samar mengenai penguasa Minangkabau di lokasi yang mereka sebut Pagaruyung,” kata Reid.
Thomas Diaz, salah satunya. Dia yang bekerja pada VOC, diutus Gubernur Belanda guna Melaka, Cornelis van Quelbergh, pada 1683 pergi ke hulu Sungai Siak guna menjalin hubungan dengan Raja Minangkabau.
Peneliti masa kini, kata Reid, mengaku kalau pemaparan Diaz mengenai Pagaruyung tak cocok dengan tempat Pagaruyung canggih di Sungai Selo, Tanah Datar. Sementara Pagaruyung yang dideskripsikan Diaz terletak jauh ke unsur timur di Sungai Sinaman, antara Buo dan Kumanis.
“Kemungkinan nama Pagaruyung dialihkan ke tempat sekarang, sekira akhir abad ke-17, sebagai persaingan dominasi yang dulu terjadi antara sejumlah cabang kerajaan,” jelas Reid.
Dalam perjalanannya itu, Diaz menempuh tidak sedikit bahaya. Berdasarkan keterangan dari catatannya, dia mesti melalui hutan belantara, gunung terjal, rawa-rawa, dan tanaman berduri guna sampai di istana raja.
Catatan Marco Polo
Pada masa yang lebih tua, eksistensi kerajaan-kerajaan di samping Sriwijaya disalin pula oleh Marco Polo. Catatannya dia bikin menurut perjalanannya bareng ayah dan pamannya yang adalahpedagang Venesia.
Kata Reid, sebetulnya Marco Polo memberikan pemaparan yang relatif akurat untuk Eropa mengenai pesisir unsur utara Sumatra, meski tidak sedikit yang tak percaya pada kisahnya.
Pulau Sumatra atau yang dinamakan Marco Polo dengan “Jawa Kecil” ialah daerah di Asia Tenggara yang dia tinggali lumayan lama pada 1290-an. Kunjungan family Marco Polo kala tersebut bertepatan dengan pembentukan negara pelabuhan Islam kesatu di sepanjang pantai unsur utara Pulau Sumatra.
Di mula catatannya, dia menyinggung ada delapan kerajaan di Pulau Sumatra yang mempunyai bahasa masing-masing. Namun, dia melulu menjelaskan empat kerajaan.
Pertama, Kerajaan Ferlec atau Perlak. Penduduknya menyembah berhala. Karena sering bersangkutan dengan saudagar Saracen yang berlabuh di sana, semua penduduk kota menganut doktrin Muhammad. Sementara warga desa masih hidup laksana binatang.
Kedua, Kerajaan Basman atau Peusangan. Warga Peusangan menyatakan setia pada Kubilai Khan. Namun, mereka tak mengirim upeti untuk kaisar Mongol itu. Lokasi mereka yang terpencil susah terjangkau oleh duta Mongol. Mereka hidup tanpa hukum dan menganut hukum hewan buas dan kejam.
“Tak terdapat satu pun lokasi di semua Hindia atau juga di distrik lain yang lebih binal pernah ditemukan insan yang begitu kecil sebagaimana yang terdapat di sini,” catat Marco Polo.
Ketiga, Kerajaan Sumatra atau Samudera, yang lantas dikenal sebagai Pasai. Marco Polo dan keluarganya lima bulan di sana, menantikan cuaca yang menyokong untuk melanjutkan perjalanan. Penduduk di sana memuja berhala dan orang-orangnya liar. Mereka punya raja yang kaya dan paling berkuasa. Sang raja juga menyatakan sokongan pada Khan Yang Agung.
Keempat, Kerajaan Dragoian atau Pidie. Kerajaan ini punya raja dan bahasa sendiri. Masyarakatnya pun menyatakan sokongan pada Khan Yang Agung. Mereka menyembah berhala.
Keadaan Pulau Sumatra telah berubah saat Ibn Batuta hingga ke Kerajaan Samudera Pasai pada 1345. Kota yang dia catat dengan nama Sumutra itu, telah diperintah seorang sultan. Mereka punya kadi dan berpengalaman hukum. Sang sultan pun rajin sembahyang Jumat.
“Sebuah kota yang besar dan indah, yang dikelilingi dinding dan menara-menara kayu,” ujar Batuta dalam catatannya yang dibentuk sepuluh tahun lantas dalam perjalanan pulang ke Maroko.
Komentar
Posting Komentar